Kesehatan – Dokter spesialis kulit dr. Arini Astasari Widodo, SM, Sp.DVE, FINSDV, mengingatkan bahwa terapi perawatan kecantikan dermaroller, yang sedang populer, harus dilakukan oleh tenaga medis profesional yang memiliki kompetensi di bidang dermatologi atau estetika medis.
Arini, yang bergabung dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), saat diwawancarai ANTARA secara daring, Kamis, mengatakan prosedur dermaroller tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
“Jika dilakukan secara agresif atau menggunakan alat yang tidak steril, risiko seperti hiperpigmentasi pasca-inflamasi (PIH), infeksi bakteri, atau trauma epidermal berlebihan dapat terjadi,” kata Arini.
Arini menekankan bahwa prosedur medis seperti dermaroller hanya boleh dilakukan oleh tenaga medis berlisensi, seperti dokter umum atau dokter spesialis kulit dan kelamin.
“Sertifikasi kecantikan dari kursus singkat tidak cukup untuk melakukan tindakan medis seperti dermaroller, laser, atau filler,” kata Ariani.
Dermaroller merupakan sebuah alat untuk terapi microneedling (jarum mikro) yang semakin populer di kalangan masyarakat yang ingin memperbaiki tekstur kulit, termasuk mengatasi masalah seperti bekas jerawat atau bopeng. Alat itu bekerja dengan menggunakan jarum-jarum mikro di permukaannya.
Saat digulung di kulit, alat itu menciptakan ribuan luka kecil (microchannels) pada lapisan epidermis hingga dermis.
“Mikroluka ini merangsang wound healing response (respons penyembuhan luka), meningkatkan produksi kolagen dan elastin, yang sangat penting untuk memperbaiki tekstur kulit, termasuk atrophic acne scars (bopeng),” kata Arini.
Selain itu, prosedur dermaroller juga dapat meningkatkan penetrasi bahan aktif seperti hyaluronic acid atau vitamin C ke dalam kulit. Sayangnya, banyak masyarakat yang tergiur harga murah dan janji hasil instan memilih klinik tidak resmi untuk melakukan prosedur itu.
Arini menjelaskan hal tersebut terjadi akibat kurangnya pemahaman masyarakat tentang perbedaan antara tenaga medis profesional dengan praktisi non-medis, dan klinik-klinik ilegal tersebut juga sering mempromosikan layanan secara berlebihan tanpa edukasi tentang risikonya.
Selain itu, stigma sosial atau rasa malu untuk berkonsultasi di klinik medis resmi sering kali membuat masyarakat memilih solusi cepat tanpa mempertimbangkan keamanan. Di beberapa daerah, terbatasnya akses ke klinik dermatologi juga menjadi salah satu faktor pendorong.
Dia juga mengingatkan masyarakat untuk memeriksa kredensial klinik dan dokter sebelum melakukan prosedur dan perlu memastikan klinik memiliki izin praktik resmi dari Dinas Kesehatan, dan dokter yang menangani memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) serta Surat Izin Praktik (SIp)